Saat Anak-anak China Mengajari Kita tentang Disiplin dan Cinta pada Masa Depan
Ada kalanya saya merenung, bukan karena merasa kalah, tapi karena saya tahu ada yang perlu diperbaiki. Suatu pagi, saat membaca laporan pendidikan Asia Timur, saya terdiam cukup lama pada satu angka: rata-rata jam belajar anak-anak di China bisa mencapai lebih dari 10 jam sehari.
![]() |
Ilustrasi: Anak-anak belajar memasak di sekolah |
Bukan hanya di sekolah. Tapi juga di rumah. Di tempat les. Di ruang-ruang kecil yang sunyi, tempat mereka menghafal, menulis ulang, dan bertanya pada diri sendiri apakah semua ini akan sepadan.
Saya teringat masa kecil di mana pulang sekolah berarti berlari mengejar layang-layang, bukan mengejar target TOEFL. Di mana senja adalah saat paling menyenangkan karena artinya bisa bermain lebih lama. Dan saya mulai bertanya: apakah yang membuat kita berbeda?
Bukan semata-mata karena sistem pendidikan. Bukan pula karena perbandingan kekayaan negara. Tapi karena ada satu hal yang secara perlahan mereka tanamkan, dan kita lupa untuk menyiraminya, keyakinan bahwa masa depan bisa dimenangkan sejak hari ini, jika kita cukup disiplin mencintainya.
Anak-anak di China tumbuh di bawah tekanan yang bagi sebagian dari kita mungkin terlihat kejam. Bangun lebih pagi dari alarm matahari, mengikuti sekolah reguler, lalu beranjak ke les tambahan, dan malam harinya masih berkutat dengan tumpukan tugas.
Tidak sedikit dari mereka yang fasih berbahasa asing bahkan sebelum pubertas menyapa. Mereka tidak hanya diajarkan membaca buku, tapi membaca peluang, membaca arah dunia.
Apakah mereka bahagia? Barangkali iya, barangkali tidak. Tapi bukan itu intinya. Mereka belajar bahwa hidup bukan soal ingin atau tidak ingin. Tapi soal perlu. Mereka perlu belajar agar bertahan. Mereka perlu disiplin agar dipercaya. Mereka perlu kerja keras agar bisa punya pilihan.
Sementara kita, terkadang masih gemar merayakan rebahan sebagai bentuk cinta diri. Padahal yang kita perlukan bukan pelarian, melainkan pelatihan. Bukan menghindar dari tantangan, tapi melatih daya tahan. Karena dalam dunia yang semakin cepat bergerak ini, siapa yang lambat berpikir, akan cepat tergantikan.
Orangtua mereka mengorbankan banyak hal. Ada yang menghabiskan lebih dari setengah gaji hanya untuk membiayai les anaknya. Mereka tidak sedang pamer.
Mereka sedang menunjukkan kalau cinta pada anak juga berarti menyediakan pijakan yang kuat untuk masa depannya. Mereka percaya bahwa rumah bisa dibeli nanti, mobil bisa dicicil nanti, tapi waktu anak-anak belajar hanya datang sekali.
Disiplin di sana bukan sekadar aturan. Tapi cermin dari penghargaan terhadap hidup. Keterlambatan lima menit bisa jadi penanda kalau seseorang belum siap bertanggung jawab. Dan tanggung jawab bukan hal besar, melainkan hal kecil yang dikerjakan secara konsisten.
Sering kali, kita menyebut anak yang ambisius dengan nada sinis. Kita katakan, “Hidup itu dinikmati, bukan dilombakan.” Padahal, siapa bilang kedisiplinan tidak bisa berdampingan dengan kenikmatan? Siapa bilang kerja keras itu selalu menyakitkan? Kadang justru dalam bekerja keras kita menemukan makna. Dalam lelah, kita belajar tentang harapan.
Memang, tidak semua anak di China akan menjadi Elon Musk atau Jack Ma. Tapi sejak muda, banyak dari mereka sudah punya arah. Di usia 25, mereka mulai membangun bisnis, merancang masa pensiun, dan berpikir bagaimana bisa membalas pengorbanan orangtuanya. Sementara kita, tak jarang masih sibuk menata ulang impian yang belum juga mulai dibangun.
Saya tidak sedang menyuruh siapapun untuk menjadi seperti mereka. Budaya, sistem sosial, dan iklim kehidupan kita tentu berbeda.
Tapi bukan berarti kita tidak bisa belajar. Karena yang kuat bukan yang keras, tapi yang tahan. Dan, yang cerdas bukan yang tahu banyak, tapi yang mau belajar tanpa lelah. Serta, yang menang bukan yang duluan, tapi yang bertahan paling lama di tengah tantangan.
Kadang kita butuh bercermin bukan untuk membandingkan, tapi untuk mengenali bayangan kita sendiri yang mungkin sudah terlalu nyaman bersembunyi.
Kita butuh menoleh ke luar, bukan agar rendah diri, tapi agar rendah hati dan tahu masih ada yang bisa ditingkatkan.
Mungkin kita sudah terlalu lama menganggap rebahan sebagai hadiah, padahal belum sempat berjuang. Mungkin kita terlalu cepat merasa lelah, padahal belum sungguh melangkah.
Dan ketika kita berkata, “Nanti saja, masih ada waktu,” waktu diam-diam tertawa dan melangkah lebih cepat dari kita.
Tapi saya percaya, selalu ada ruang untuk berubah. Tak perlu langsung 10 jam belajar, cukup satu jam setiap hari dengan sungguh-sungguh.
Tak harus bisa tiga bahasa sekaligus, cukup mulai mencintai satu kata dan bertahan pada satu kamus. Tak perlu langsung tahu masa depan, cukup punya alasan untuk bangun lebih pagi dan bersyukur kita masih punya waktu.
Jika anak-anak di China bisa berdiri meski tekanan menumpuk di pundaknya, masa iya kita masih duduk sambil mencari alasan?
Kalau mereka bisa mencintai masa depan dengan cara bekerja keras, apa kita akan terus menyayang diri dengan cara bermalas-malasan?
Saya menulis ini bukan untuk menggurui. Tapi sebagai pengingat kalau dunia ini milik mereka yang mau berproses. Masa depan tidak dijanjikan kepada siapa pun, tapi diberikan kepada mereka yang bersedia meraihnya, satu langkah, satu usaha, satu waktu yang tidak disia-siakan.
Karena sejatinya, kerja keras bukan musuh kebahagiaan. Ia adalah jalan panjang yang akan mempertemukan kita dengan versi terbaik dari diri sendiri, versi yang tidak mudah menyerah, tidak cepat puas, dan tahu bahwa hidup layak diperjuangkan.
Maka hari ini, mari kita mulai. Tak perlu sempurna. Tak perlu luar biasa. Cukup setia. Cukup tekun. Karena dari situlah segalanya bermula.
Dan semoga, di kemudian hari, anak-anak kita pun bisa berkata: “Kami pernah belajar dari generasi yang tak menyerah hanya karena lelah.”
— Karena masa depan tidak menunggu siapa pun yang sedang rebahan.
Posting Komentar untuk "Saat Anak-anak China Mengajari Kita tentang Disiplin dan Cinta pada Masa Depan"