Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Azza Aprisaufa Meramu Teknologi untuk Memulangkan Sarjana yang Kehilangan Arah

Di Indonesia, belasan ribu mahasiswa diwisuda setiap tahun dengan harapan besar: cepat memperoleh pekerjaan, membangun karier, dan membalas perjuangan orang tua.

Namun realitanya tidak seindah wacana seremonial kampus. Data BPS menunjukkan, per Agustus 2023 tingkat pengangguran terbuka pada lulusan universitas justru berada di angka tertinggi dalam lima tahun terakhir lebih dari 765 ribu sarjana belum bekerja.

Wisuda universitas Indonesia di gedung

Ironis, karena mereka adalah lulusan “terdidik,” tetapi justru paling rentan gagal memasuki dunia kerja.

Bukan karena malas. Bukan pula kurang pintar. Masalahnya seringkali terletak pada mismatch keterampilan. Apa artinya?

“Mismatch keterampilan” artinya ketidaksesuaian antara kemampuan yang dimiliki lulusan dengan keterampilan yang dibutuhkan dunia kerja atau industri saat ini. Contohnya:

  • Kampus mengajarkan teori komunikasi, tetapi industri membutuhkan copywriting digital, content strategy, atau data-driven marketing.
  • Kampus mengajarkan sistem informasi berbasis tekstual, tapi perusahaan butuh cloud computing, SQL, AI workflow, atau UI/UX.
  • Kampus mengajarkan teknik sipil secara umum, tapi di lapangan butuh Building Information Modeling (BIM), software konstruksi, dan standar sertifikasi tertentu.

Akibatnya:

  • Lulusannya “terdidik”, tetapi tidak siap pakai.
  • Punya ijazah, tapi tidak punya keterampilan yang relevan.
  • Punya teori, tapi minim jam terbang praktik.

Inilah kenapa banyak sarjana bukan gagal berprestasi, tetapi gagal “mendarat” di dunia kerja.

Mismatch keterampilan bisa terjadi karena:

  1. Kurikulum kampus lambat mengikuti perkembangan industri.
  2. Tidak ada pembinaan pasca wisuda.
  3. Akses pelatihan praktis masih terbatas atau mahal.
  4. Minimnya jejaring profesional.
  5. Informasi kebutuhan industri tidak sampai ke mahasiswa.

Dengan kata lain:

Yang bermasalah bukan individunya, tetapi koneksi antara pendidikan dan realitas pasar kerja.

Inilah kesenjangan yang kemudian coba dijembatani oleh solusi teknologi seperti yang dikembangkan Azza Aprisaufa.

Kampus vs Dunia Kerja

seorang pemuda berjalan di trotoar membawa map lamaran kerja

Industri bergerak cepat, tuntutan teknologi berubah dalam hitungan bulan, sementara kampus masih mengajar kurikulum yang sama bertahun-tahun.

Akses pelatihan pasca kampus berbayar dan tidak semua lulusan memiliki jejaring yang bisa membuka pintu pertama ke dunia profesional.

Di titik inilah banyak sarjana mulai kehilangan arah. Bahkan sebagian terpaksa bekerja di bidang yang tidak mereka minati, sebagian lainnya pasrah menjadi pengacara (pengangguran banyak acara) atau pedagang (pengangguran dalam gang).

Fenomena inilah yang membuat Azza Aprisaufa merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu.

Keresahan yang Tak Dibiarkan Menjadi Keluhan

Azza tidak tumbuh dari keluarga yang berkecukupan. Ia tahu rasanya memperjuangkan kuliah dengan segala keterbatasan. Namun lebih dari itu, ia pernah berada pada posisi serupa dengan puluhan ribu lulusan lain, lulus kuliah tetapi bingung harus kerja mulai dari mana.

Kisah Azza Aprisaufa Membuat Aplikasi untuk Memulangkan Sarjana

Alih-alih menyalahkan keadaan, Azza memilih untuk menelisik akar masalah. Ia mendapati kesenjangan terbesar bukan pada ijazah, tetapi pada akses pengetahuan praktis.

Bagaimana menyiapkan CV yang tepat, bagaimana membaca kebutuhan industri, bagaimana mengasah keterampilan yang relevan, dan yang paling penting, bagaimana membangun jejaring profesional sejak dini.

Dari situ tumbuh gagasan “jika sarjana tertinggal karena akses dan persiapan, maka solusi harus berbasis pembukaan akses, bukan sekadar seminar motivasi.”

Melahirkan Teknologi sebagai Jembatan

Gagasan itu ia wujudkan dalam bentuk sebuah aplikasi pemberdayaan sarjana. Platform yang tidak hanya menampilkan lowongan kerja, tetapi menghubungkannya dengan pelatihan berbasis kebutuhan industri, mentorship, simulasi interview, hingga ruang kolaborasi antar lulusan lintas daerah.

Aplikasi ini bekerja sebagai ekosistem, bukan hanya “papan pengumuman.” Di dalamnya, seorang fresh graduate bisa menemukan:

  1. Pemetaan minat dan potensi berbasis psikometri sederhana,
  2. Kurikulum keterampilan mikro (micro-learning) yang disusun berdasarkan gap nyata di lapangan,
  3. Mentor profesional yang membimbing langsung,
  4. Forum berbagi peluang antarpengguna,
  5. bahkan proyek kolaboratif agar lulusan punya portofolio sebelum masuk tahap rekrutmen.

Azza menyebutnya bukan sekadar platform teknologi, tetapi “jembatan pulang.” “Jembatan” bagi sarjana yang tersesat arah untuk kembali menemukan tempatnya di dunia kerja.

Dampak yang Terlihat dan Terukur

Sejak dirilis, aplikasi ini telah menjangkau lebih dari seribu pengguna awal dalam fase percontohan. Cerita dampaknya tidak berhenti pada statistik.

Ada lulusan pertanian di Madura yang akhirnya diterima bekerja sebagai analis mutu pangan. Ada lulusan komunikasi di Banyuwangi yang berhasil masuk industri digital setelah dibimbing mentor secara daring.

Ada pula pemuda asal Blitar yang semula putus asa setelah gagal melamar pekerjaan lima kali berturut-turut, kini membuka usaha kecil setelah mendapatkan pelatihan “entrepreneurship untuk pemula” dari aplikasi tersebut.

Yang berubah bukan hanya CV mereka, tetapi rasa percaya diri mereka juga ikut pulih. Rasanya jadi lebih punya arah dan siap berkembang.

Ketika Aksi Azza Mendapat Pengakuan

Pada 2024, langkah Azza menarik perhatian Astra melalui program SATU Indonesia Award. Ia menerima penghargaan di bidang Teknologi. Bukan semata karena merancang aplikasi, tetapi karena menghadirkan solusi berbasis empati dan bukan sekadar ide di atas kertas.

Bagi Azza, penghargaan ini bukan garis akhir, tetapi titik berangkat. Ia percaya, Indonesia tidak kekurangan sarjana pintar. Yang kurang hanyalah sistem pendampingan setelah kelulusan. Ia ingin aplikasi ini tumbuh menjadi “rumah belajar kedua” bagi lulusan muda, tempat mereka tidak merasa berjalan sendirian.

Teknologi yang Menyentuh Harkat Manusia

Di tangan orang yang tepat, teknologi bukan sekadar algoritma, tetapi alat pemberdayaan. Azza menunjukkan bahwa perubahan sosial tidak harus dimulai dari proyek besar, cukup dari memahami satu celah persoalan yang paling dekat dengan kehidupan.

Dan, dari keresahan personal itu, lahirlah ruang baru bagi banyak anak muda untuk bangkit.

Penutup

Seperti yang saya ungkapkan di atas tadi, pada tahun 2018, Azza Aprisaufa berhasil meraih penghargaan sebagai Juara Satu SATU Indonesia Award, sebuah pengakuan nasional yang menegaskan bahwa karya anak muda, ketika lahir dari empati, keberanian, dan kebermanfaatan nyata, dapat membuka jalan perubahan sosial.

Kisahnya membuktikan bahwa teknologi bukan sekadar alat, melainkan jembatan bagi mereka yang ingin mengangkat martabat sesama.

Melihat perjalanan ini, anak-anak muda kreatif di seluruh Indonesia sebenarnya punya peluang yang sama. Mereka bisa menjadikan keresahan sebagai ide, ide menjadi aksi, dan aksi menjadi gerakan.

Jika kamu punya inisiatif yang memberi dampak bagi masyarakat, jangan ragu untuk ikut serta dan menjadi bagian dari generasi yang membangun solusi, bukan sekadar menyaksikan masalah.

Joni Pranata
Joni Pranata Seorang Sarjana Sistem Informasi di STMIK Amikom Jogjakarta. Content Writer, Youtuber, Animator, dan Blogger--sejak 2009

Posting Komentar untuk "Kisah Azza Aprisaufa Meramu Teknologi untuk Memulangkan Sarjana yang Kehilangan Arah"