Alternatif Software Illustrator atau COREL Draw Gratisan untuk Windows & Linux
Halo teman-teman ilustrator! Atau mungkin, para survivor desain grafis yang nasibnya sama kayak saya.
Saya mau curhat. Curhat panjang yang mungkin sedikit menampar diri saya sendiri, tapi semoga bisa jadi ‘Aha! Moment’ buat kalian yang masih berkutat di trauma yang sama.
Beberapa tahun lalu, saya adalah budak Illustrator yang patuh. Hidup saya terikat pada lisensi tahunan yang bikin dompet nangis, shortcut-key yang saya hafal lebih banyak daripada hafalan lagu rohani waktu SD, dan ritual klasik yang pasti dilakukan: restart laptop sebelum mulai kerja, sekadar memastikan RAM tidak meledak karena stroke tiba-tiba.
Illustrator waktu itu seperti cinta sepihak, kita terus berjuang, coding di kepala, tapi balasannya kadang cuma loading-circle berputar tanpa akhir.
Padahal saya cuma mau bikin logo UMKM teman, lho. Bukan poster konser Coldplay!
Trauma Memori yang Berulang (Plus Suara Jet Takeoff)
Setiap kali projek datang, saya seperti mengalami trauma memori yang berulang:
- Buka Illustrator.
- Tune-up kipas laptop.
- Dengar suara “whooosh” seperti jet mau takeoff.
- Tunggu lima menit baru bisa klik tool.
Semua itu, ya, semua itu, cuma supaya bisa membentuk satu lingkaran sempurna yang, saya berani sumpah, butuh degree of precision seperti memahat patung Michelangelo.
Kadang saya tertawa sendiri. Saya sadar kemampuan saya mengendalikan Illustrator sudah cukup advanced. Gradient mesh? Bisa. Manipulasi anchor points 0,001 mm? Jago. Bikin logo sampai tetangga nyangka hasil karya agensi internasional? Yes, that’s me.
Tapi tetap saja, setiap kali saya ingin eksplorasi ide baru, saya harus berhadapan dengan realitas pahit: Illustrator adalah software kelas berat yang bikin saya melupakan bahwa hidup bukan cuma menunggu loading bar.
Namun ada saat tertentu dalam hidup di mana kita lebih suka memeluk kebodohan sendiri. Saya sudah bertahun-tahun menjadi ahli Illustrator, tapi tidak pernah bertanya: “Apa ada alternatif lain yang tidak bikin CPU saya mendadak pingsan?”
Jawabannya ternyata: ada.
Dan lebih menyakitkan lagi: gratis.
Analoginya begini: Selama bertahun-tahun saya menyewa apartemen mahal biar dekat kantor, padahal ada kosan bagus di gang sebelah yang jauh lebih murah dan nyaman… tapi saya baru tahu setelah pindah kantor. Kan kesel.
Ego Sang Desainer Pro dan Krisis Lisensi
Lucunya, saya merasa Illustrator sudah menjadi bagian jiwa saya. Saya tidak percaya diri menggunakan tools lain; seperti koki Michelin yang disuruh masak pakai kompor portable. Rasanya terhina.
Tapi perasaan itu, lama-lama, saya sadari adalah bentuk ego. Kita merasa “mahal = pro”. Aneh, padahal skill yang membuat pro, bukan alatnya.
Saya pernah blackout kreatif hanya karena ribet memikirkan lisensi. Inspirasi datang jam 2 pagi, kepala penuh ide abstrak a la Picasso, tapi laptop saya cuma laptop pas-pasan. Illustrator-nya? No, thank you. Daripada saya buka dan crash, mending saya tidur sambil menatap plafon sambil bertanya-tanya: “Kenapa Tuhan menciptakan file vector dan file raster berbeda?”
Dan yang paling jahat dari Illustrator adalah:
Semakin bagus skill kamu, semakin kamu merasa terbatas oleh software itu sendiri.
Karena semakin detil ingin berkarya, semakin besar resource yang dibutuhkan, semakin besar pula peluang kamu untuk melawan error “Not Enough Memory”. Bahkan malam Jumat saja tidak semenegangkan pop-up itu.
Lalu Datanglah Tools Gratis yang Mengguncang Jiwa
Suatu kali, saya membaca artikel yang bunyinya kurang lebih seperti ini, “Seandainya saya tahu ada free vector tool sebelum bertahun-tahun belajar Illustrator.”
Saya refleksi sejenak. Ada semacam rasa “Oh, I feel you, Bro.”
Bukan berarti Illustrator jelek, itu tetap aplikasi legenda yang jasanya besar. Tapi realitanya sekarang, kita tidak harus menikahi satu software sepanjang hidup. Ada pilihan lain.
Ada alat gratis yang:
- Bisa jalan di laptop kentang saya (ya ampun, ini healing banget).
- Tidak bikin tagihan kartu kredit terjun bebas.
- Tidak bikin kita merasa bodoh cuma karena ingin desain sederhana.
Saya sadar satu hal: selama ini saya berpegang pada software seperti berpegang pada hubungan toksik. Saya tahu dia bisa menyakiti, tapi saya tetap bertahan karena saya pikir “gak ada yang lebih baik.”
Padahal ada.
Transformasi Pandangan: Kreativitas Tidak Butuh Lisensi
Dulu saya sering berpikir: “Yang gratis itu pasti murahan. Gak mungkin se-profesional Illustrator.”
Ternyata saya salah.
Saya menemukan bahwa tool gratis bisa jadi lebih bebas untuk orang-orang kreatif. Kreativitas tidak boleh dikekang oleh lisensi, bukan?
Kalau saya flashback, betapa banyak ide yang tidak jadi dikerjakan gara-gara ribet Illustrator:
- Mau bikin kartu nama unik? → Urung, malas buka file .AI
- Mau bikin logo kecil buat UMKM? → Nanti aja, tunggu mood
- Mau bikin ilustrasi experimental? → Takut crash, skip
Semua itu karena saya terlalu ketergantungan pada software yang “terlalu berat untuk ide kecil”.
Padahal desain itu bukan soal software, tapi visi.
Momen Aha!
Ketika saya menjajal free vector tool itu, rasanya seperti:
“Ini… ini yang selama ini saya cari. Yang bisa saya pakai kapan saja, tanpa memikirkan lisensi, tanpa takut RAM menangis, tanpa ada popup error yang menilai hidup saya.”
Saya jadi bertanya ke diri saya sendiri:
- Kenapa saya tidak mencari ini dari dulu?
- Kenapa saya membiarkan produktivitas saya tergantung pada satu software besar?
- Kenapa saya mempersulit diri dengan cara-cara lama?
Dan yang paling lucu adalah: skill Illustrator yang bertahun-tahun saya kumpulkan ternyata transferable. Tool gratis itu tidak “menurunkan derajat” saya. Tidak membuat saya jadi amatir. Yang berubah cuma kendaraan. Sopirnya tetap saya.
Kesimpulan Emotional (dan Agak Satir)
Andai saya tahu lebih cepat, mungkin:
- Saya tidak kehilangan jam tidur hanya menunggu loading.
- Saya tidak menunda projek kecil demi membuka aplikasi besar.
- Saya tidak stress menghadapi update-plugin-konflik-format-inkompatibel.
Tapi yah, hidup memang keras. Dan kadang pelajaran terbaik datang setelah perjuangan paling rumit.
Sekarang, saat saya melihat tools gratis yang ringan tapi kuat, saya tersenyum kecil sambil berkata:
“Kalau kalian muncul lebih cepat, mungkin saya gak sekacau ini… tapi ya sudahlah, setidaknya sekarang kita bisa kerja sama.”
Dan pesan terakhir dari seorang mantan budak Illustrator tapi sekarang berpikiran bebas:
Kreativitas tidak butuh lisensi. Yang berlisensi itu cuma software, bukan imajinasi.
Gimana, kalian punya pengalaman yang sama? Atau punya rekomendasi free vector tool andalan? Kasih tahu di kolom komentar, yuk!
Cara Install Software Vector Inkscape di Windows dan Ubuntu Linux
1. Instal Inkscape di Windows
Cara ini mudah banget, tinggal download, klik next-next, selesai.
Langkah-langkah:
- Download installer resmi dari situs Inkscape (pilih versi Windows
.exe). - Setelah file terunduh, double-click untuk menjalankan installer.
- Di jendela instalasi, pilih:
- Add to PATH → biar bisa dijalankan dari command prompt kalau perlu.
- Install → lanjutkan prosesnya.
- Tunggu proses hingga selesai (biasanya cepat kok).
- Setelah selesai, klik Finish.
- Buka Inkscape lewat Start Menu atau buat shortcut di desktop.
Catatan:
- Pastikan Windows kamu 64-bit (versi terbaru butuh itu).
- Kalau mau versi portable juga ada (tinggal ekstrak, tanpa install).
Tips dari pengalaman:
- Kalau kamu punya plugin tambahan (misalnya untuk ekspor SVG ke PDF), taruh di folder:
C:\Program Files\Inkscape\share\extensions\
- Jangan lupa aktifkan Autosave dari Preferences, supaya lebih aman.
2. Instal Inkscape di Ubuntu Linux
Nah, di Linux ini jauh lebih menyenangkan karena bisa lewat terminal.
Cara 1: dari Repository Resmi (simple)
Cocok buat yang pengen versi stabil.
sudo apt update
sudo apt install inkscape
Selesai. Sesederhana itu.
Cara 2: lewat PPA (biasanya versi lebih baru)
Kalau kamu ingin fitur-fitur terkini:
sudo add-apt-repository ppa:inkscape.dev/stable
sudo apt update
sudo apt install inkscape
Cara 3: lewat Flatpak (sering versi paling update)
Kalau kamu pakai Flatpak:
flatpak install flathub org.inkscape.Inkscape
Jalankan aplikasinya:
flatpak run org.inkscape.Inkscape
Settings yang saya sarankan:
- Atur UI scaling sesuai resolusi layar (supaya gak kelihatan “gepeng”).
- Aktifkan Autosave di
Edit > Preferences. - Kalau ingin warna konsisten antar software, aktifkan fitur Color Profile (ICC).


Posting Komentar untuk "Alternatif Software Illustrator atau COREL Draw Gratisan untuk Windows & Linux"