Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pantas Saja Jadi Incaran! Ternyata Ini Kehebatan ASUS V400 AiO yang Bikin Meja Auto-Rapi


Beberapa bulan belakangan, fase hidup saya selalu dimulai di kamar yang fungsinya sudah melewati batas kewajaran. Kamar ini bukan cuma tempat tidur, tapi juga kantor, playground, tempat cuci-setrika, ruang kumpul keluarga, dan tempat nobar + mabar. Saya tak ingat persis apa fungsi lain dari kamar ini. Tapi yang jelas, banyak anggota keluarga yang menganggapnya public warehouse!

Setiap pagi, cahaya matahari masuk dengan sikap penuh keraguan. Ia menyelinap lewat sela tirai seperti orang yang berdiri di depan pintu kamar, bingung mau masuk atau balik kanan. Seolah heran melihat kondisi di dalam.

Herannya. Cahaya itu selalu jatuh miring ke meja kerja, menyorot debu-debu halus di sana seolah-olah berkata, “Bro, bersihin napa.” Debu-debu itu bukan sekadar musafir, mereka sudah lama menganggap meja tersebut sebagai inangnya.

Meja kerja saya ini ukurannya tanggung. Tidak bisa dibilang luas tapi, juga tidak pantas disebut sempit. Namun entah, ilmu pelet apa yang dimilikinya, meja ini selalu penuh.

Kamar berantakan

Sudah saya bereskan berkali-kali bahkan sudah disumpahin, tapi baru berapa menit, ia langsung kembali ke bentuk aslinya, berantakan dan seolah punya magnet yang kuat menarik benda-benda di sekitarnya.

Jadi, jangan heran kalau di atas meja itu ada botol minum yang isinya entah masih air atau sudah berubah jadi POC (Pupuk Organik Cair), headset yang katanya wireless tapi tetap maksa mau punya charger sendiri, monopod yang jarang dipakai tapi selalu merasa penting, speaker kecil yang suaranya kalah dominan sama kipas angin, buku yang belum tentu dibaca, pouch misterius yang isinya tidak pernah diingat, sampai benda-benda yang jelas-jelas tidak punya kepentingan kerja.

Saya pernah menemukan setrika nongkrong manis di sudut meja. Bahkan celana dalam pun pernah ikut nimbrung, santai... seperti mau bilang, “Tenang, saya cuma lewat.” fyuh...

Meja kerja ini bukan lagi sekadar meja. Ia sudah menjelma jadi tempat transit segala macam benda yang tidak tahu harus pulang ke mana. Tapi anehnya, setiap kali penuh, saya tetap bisa bekerja, meski nyaris tanpa ruang gerak seperti saat naik KRL pagi di Stasiun Manggarai.

Di sanalah hari-hari saya dimulai. Duduk menghadap layar, tubuh sudah siap bekerja, sementara pikiran masih di kasur, menimbang-nimbang apakah benar hari ini harus produktif atau bisa ditunda sampai besok saja.

Biasanya, setelah beberapa menit menatap layar tanpa benar-benar tahu mau mulai dari mana, barulah saya bisa masuk ke ritme kerja. Begitu terus, hari demi hari, dimulai dari ruang kecil yang memaksa saya belajar berdamai dengan kekacauan, keterbatasan, dan kopi yang selalu keburu dingin.

Saya selalu percaya bahwa meja kerja adalah cermin kejujuran hidup. Dari sana bisa ketahuan apakah pemiliknya pekerja kreatif, tukang rebahan, atau manusia yang hidupnya setengah berantakan tapi sok produktif.

Meja kerja saya sendiri sudah lama masuk kategori ketiga. Kabel ke mana-mana sehidup semati dengan satu “benda peninggalan sejarah” berbentuk sebuah laptop yang saya beli tahun 2014 silam, yang entah kenapa masih saya perlakukan seperti barang antik bernilai milyaran.

Sebagai blogger dan content creator, hari-hari saya, saya isi dengan menulis konten lintas niche yang kadang bikin saya sendiri bingung... teknologi, gadget, kesehatan, olahraga, kecantikan, traveling, tips rumah tangga, sampai bahasan AC. Jadi, jangan heran kalau tulisan saya ada di mana-mana. Mulai dari, blog pribadi, blog istri, blog teman, Kompasiana, Retizen, sampai online shop.

Di YouTube dan TikTok, saya mengelola channel tips & trik Android dengan nama droidtips, dan pernah juga mengelola channel animasi edukasi anak di channel kinzamahveen.

Saya bilang “pernah” karena pada akhirnya aktivitas itu saya tinggalkan. Bukan karena nggak niat, tapi karena idealisme kreatif itu seringkali kalah telak oleh keterbatasan hardware.

Laptop yang dulu saya beli dengan keyakinan “biar bisa kerja dari mana saja” ternyata lebih sering nongki di meja kamar. Tidak pernah benar-benar ikut traveling. Tidak pernah ikut ngopi. Bahkan saat liburan, saya justru pura-pura lupa membawanya.

Berat, ribet, adalah alasan yang membuat saya tak merasa menyesal untuk pura-pura lupa bawa laptop saat liburan.

Bagi saya, laptop itu bukan alat mobilitas, tapi alat penambah beban pikiran. Ironisnya, dengan budget yang sama di tahun itu, saya sebenarnya bisa saja membeli All in One PC dengan spesifikasi yang lebih mumpuni. Penyesalan memang selalu datang terakhir seperti polisi di pilem-pilem Bollywood.

Waktu berlalu dengan cepat. Layar laptop itu pada akhirnya menyerah pada usia. Saya copot. Saya ganti dengan external monitor 17 inch yang hanya bertahan tiga tahun, lalu pensiun dini.

Termakan usia membuat bodi laptop tersebut mulai rapuh, baterainya hilang entah ke mana, DVD drive-nya? Entah ngumpet atau diculik alien.

Akhirnya, saya memutuskan untuk mengambil keputusan yang secara teknis “bisa,” tapi secara estetika “menyiksa.” Yaitu, menjadikan LCD TV 32 inch di kamar sebagai monitor setelah berdebat panjang lebar sama anak yang kekeh ingin menggunakannya untuk nonton channel Minecraft.

Resolusi HD di layar TV sebesar itu membuat pixel terlihat seperti ubin kamar mandi yang kebesaran. Hanya butuh 1 menit menatapnya, sampai mata bilang, “Aku nyerah bro! kita scroll tiktok di hp aja ya... lebih enak.” Ahayyyy...

Karena tidak tahan melihat kekacauan visual, laptop itu akhirnya saya sembunyikan di atas lemari. Kabelnya saya sembunyikan. But, TV tetap jadi monitor-nya.

Secara fungsi, masih bisa dipakai buat kerja sih. Tapi secara rasa, jauh dari kata nyaman. Saya bahkan mengganti sistem operasi-nya ke Linux Mint demi menjaga kewarasan saya saat mengoperasikannya.

Tapi masalah lain muncul, CapCut tidak bisa diinstal di Linux, padahal saya membutuhkannya untuk edit video tutorial.

CapCut adalah satu-satunya software video editor paling saya Andalkan karena gratis dan powerful. Mengingat sejak 2013, saya sudah berkomitmen tidak menggunakan OS dan software bajakan. Jadi, pilihan ini meski terdengar sederhana tapi menyebalkan.

Dari semua opsi yang ada, saya tahu betul kalau saya tidak butuh laptop. Saya juga tidak tertarik dengan PC tower yang besar, makan tempat, dan bikin meja kerja seperti bengkel servis.

Mini PC memang ringkas, tapi seringkali butuh speaker tambahan, kabel tambahan, dan sudah pasti bikin meja makin penuh. Padahal, gaya kerja saya itu identik dengan kata ringkas, rapi, dan menyatu.

Di sinilah konsep aesthetic workstation mulai terasa masuk akal. Bukan sekadar soal cantik-nya aja, tapi ini soal sistem yang bekerja sebagai satu kesatuan yang bisa menggabungkan antara visual, faktor ergonomi, workflow, hardware, dan desk setup. Fyuh... bahasanya lek!

Meja kerja berantakan

Apakah ini pertanda kalau saya harus nabung buat beli All in One PC ya? (bertanya dengan nada lembut).

Kenalan dengan All in One PC ASUS

Saat saya masih sibuk menimbang antara membeli All in One PC atau menyerahkan tabungan saya pada es krim promo TikTok demi kebahagiaan sesaat, istri saya tiba-tiba mengeluarkan semacam dekrit darurat. Bukan pakai stempel, tapi efeknya sama. Tidak bisa diganggu gugat.

“Abi, ikut lomba nulis ASUS V400 AiO Series. Link-nya sudah aku kirim ke WA.”

Nada suaranya tenang, tapi tegas dan menuntut. Saya sudah hafal jenis nada ini, nada yang tidak membuka ruang musyawarah, tidak mengenal istilah “kita selesaikan secara kekeluargaan.”

Saya langsung paham, peluang saya untuk menang adu argumen sudah gugur bahkan sebelum saya sempat mengeluarkan satu kata pun.

Padahal di kepala saya sudah antre seribu satu dalih paling logis, mulai dari alasan menjaga kesehatan mental kaum rebahan sampai kontribusi nyata untuk stabilitas ekonomi rumah tangga.

Sayangnya, semua alasan itu langsung pasrah bak rakyat jelata di hadapan surat titah dari raja di era Dinasti Joseon.

Tapi bukan saya namanya kalau nggak memberontak. Saya merespon dengan tatapan “protes.”

“Untuk nambah-nambah tabungan sekolah anak!” Imbuh istri saya dengan ekspresi penuh kemenangan.

Satu kalimat singkat di atas sudah cukup membuat saya mengibarkan bendera putih.

Dan, sejak saat itu, pilihan hidup saya resmi mengerucut, bukan lagi soal mau ikut lomba atau tidak, tapi tinggal bagaimana caranya patuh sambil menjaga kehormatan supaya tidak diklasifikasikan ke dalam golongan “Suami-Suami Takut Istri” yang terkenal itu.

Melihat saya bengong. Istri langsung menodong saya dengan satu kata, “sekarang!” ketusnya singkat. Satu kata yang membuat harapan saya buyar seketika.

Dari sinilah ceritanya dimulai...

Saya langsung buka WhatsApp Web. Dua links dari web travelerien.com sudah nongkrong manis. Saya langsung fokus ke link pertama yang mengarahkan saya ke, laman yang menampilkan title “Lomba Menulis Blog ASUS V400 AiO Series, All in One PC terbaik untuk Anda.”

Dengan perasaan enggan saya membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat.

Awalnya saya sama sekali tidak berniat ikut lomba menulis. Dari sekian banyak percobaan, jumlah kemenangan saya masih bisa dihitung dengan jari (kungkang yang cuma ada tiga). Kalau pun pernah menang, besar kemungkinan itu terjadi karena juri sedang lelah, atau khilaf menulis nilai 10 menjadi 100.

Meski awalnya ogah-ogahan, perhatian saya pada akhirnya teralihkan oleh gaya penyampaian kak Katerina yang saya akui enak dibaca dan mudah dimengerti, tidak seperti brief versi kanebo kering (baca: kaku) khas lomba-lomba menulis yang pernah saya baca.

Saat mata saya sampai pada bagian “Materi Lomba,” kepala saya langsung ngebul... bukan karena kebanjiran ide, tapi karena berpikir keras mencerna tulisan di sana,

“Lomba berlangsung pada 25 Desember hingga 31 Desember 2025 pukul 23.59 WIB.”

Tanpa sadar saya mengangkat jari tangan, memandangnya dengan tatapan serius lalu, berisyarat menghitung jari meski sudah tau sekarang hari Rabu tanggal 31 Desember. Jadi, apa yang sebenarnya saya hitung? Coba dipikirkan secara logika. Hayoo, hayoo, coba dipikirkan secara logika....

Tak ingin menghabiskan waktu untuk memikirkannya secara logika, saya memutuskan untuk melanjutkan membaca.

Teks yang saya cari-cari akhirnya ketemu. Bagian “Pengumuman Pemenang.” Mata saya melotot berharap saya tidak salah lihat. Mata saya kucek-kucek berharap tulisannya berubah. Tapi tulisannya masih sama,

  • Juara 1: Rp 5.000.000
  • Juara 2: Rp 3.000.000
  • Juara 3: Rp 2.000.000

Di dalam hati saya berdoa setengah tak yakin, “Ya Allah, jadikan saya juara 1 lomba menulis ini.”

Jangan tanya (secara logika) berapa persen peluang saya memenangkannya. Tapi, sudahlah. Yang penting, istri saya percaya saya bisa menang. Sisanya saya serahkan pada takdir-Nya.

Ting! Suara notif di hp tiba-tiba berbunyi. Menarik saya kembali ke dunia nyata. Sedikit gelagapan, saya mengedarkan padangan mencari jam di dinding. 10:09. Masih ada waktu 14 jam lagi sampai 23.59.

Jari saya bergerak cepat mencari referensi, sementara otak saya sibuk mencari ide. Nihil! Dua jam berlalu tanpa tanda-tanda batang hidung si “ide” bakal muncul.

Saya melangkah ke dapur. Bukan! bukan karena lapar, tapi lebih karena dorongan hormon kortisol.

Belum juga saya menjejakkan kaki di lantai dapur, saya susah disambut tatapan menghakimi dari istri.

“Belum sarapan,” kata saya lirih, karena tau apa maksud dari tatapannya itu.

Di dapur, alih-alih menikmati aroma khas jengkol semur kesukaan saya, saya sibuk memeras otak nyari ide agar bisa memenangkan lomba. Meski sudah mengunyah sampai pelipis sakit, ide itu tak juga muncul.

Sampai akhirnya saya teringat pada laptop tua saya yang nyaris menjadi artefak.

Saya langsung berusaha menghabiskan sisa makanan di piring. Tak perlu dikunyah. Yang penting habis dan secepatnya kembali ke meja kerja.

Dengan semangat empat lima, saya mulai meriset ASUS V400 AiO Series.

Semakin dalam saya riset, saya merasa seperti sedang melihat versi “hidup yang seharusnya saya jalani sejak lama.” Sebuah All in One PC yang tidak hanya mampu bicara soal spesifikasi, tapi juga tentang bagaimana sebuah workstation seharusnya terasa. Bertenaga, gagah, ringkas, modern, dan nggak bikin meja kerja terlihat seperti kapal pecah.

ASUS AiO V400 Adalah Kombinasi Estetika, Ergonomi, dan Performa Gahar

ASUS V400 AiO Series bukan sekadar komputer yang “disatukan dengan layar.” Ia adalah sebuah sistem kerja yang memang dirancang untuk orang-orang yang menginginkan All in One (AiO) PC terbaik untuk di rumah dan di tempat kerja.

Saya bisa melihat dengan jelas desainnya yang ramping, bezel-nya tipis, dan tampilnya yang minimalis. Saya mulai membayangkan seandainya AiO ini nongkrong di atas meja kerja saya yang sempit. Tanpa tower, tanpa kabel VGA, atau adaptor berlebihan yang numpuk di belakang monitor. Betapa bahagianya hati ini.

BTW, seperti sebutannya, ASUS V400 AiO Series nggak cuma satu produk lho ya. Ia hadir dalam beberapa pilihan model, jenis layar, dan spesifikasi.

Model pertama adalah V440 dengan layar 24 inch, dan yang kedua ada V470 dengan layar 27 inci. Keduanya tersedia dalam versi layar sentuh dan non-sentuh. Jadi, kita bisa memilih sesuai dengan jenis pekerjaan atau gaya kerja.

Layar yang Membuat Mata Bertahan Lebih Lama daripada Mantan

Kalau dilihat dari sisi visual system, layar ASUS V400 AiO ini, jujur, bikin saya nggak berani nyinyir.

Maklum, saya memang tipe yang skeptis di awal dan baru mengangguk pelan di akhir. Tapi yang satu ini beda. Sejak pertemuan pertama, ia sudah terang-terangan memamerkan keunggulan display-nya, bukan sekedar gimmick murahan.

Coba deh dilihat. Layar yang diusung adalah NanoEdge yang tipis dan nyaris tanpa batas, dengan sudut pandang 178°. Artinya apa?

Mau dilihat dari depan, samping, atau dari posisi duduk setengah rebahan sambil mikir nasib, tampilannya tetap konsisten. Rasio screen-to-body-nya tembus 93%, bikin layar terasa luas dan lega, sementara bezel-nya (bingkainya) nyaris tak terlihat, lebih tipis dari kesabaran saya saat render video yang gagal di menit-menit terakhir.

Baik varian 24 atau 27 inch hadir dengan resolusi Full HD 1920 x 1080. Bukan angka yang sok tinggi, tapi justru realistis dan ramah mata.

layar ASUS V400 AiO

Ditambah lapisan anti-glare dan sertifikasi TÜV Rheinland untuk emisi cahaya biru yang rendah. Layar ini jelas dibuat untuk orang-orang yang suka berlama-lama menatap monitor.

Nggak bikin mata sepet. Sebaliknya, mata bisa tetap segar, dan kepala tidak cepat ngebul, meski harus menatap layar berjam-jam setiap hari.

Soal warna, sejak lama produk ASUS memang sudah tidak diragukan lagi. Layar NanoEdge ini mengantongi gamut warna 100% sRGB dan 72% NTSC.

Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa manusia, maksudnya kurang lebih... warna yang ditampilkan akan terlihat hidup, dan tidak lebay.

Biru langit di layar ini akan tetap terlihat biru seperti yang kita lihat di dunia nyata, matahari terbenam tidak berubah jadi jingga menyala seperti filter berlebihan, dan warna kulit tidak mendadak terlihat seperti habis kecemplung saus barbeque.

Nggak cuma itu. Ada juga teknologi ASUS Splendid yang memastikan warna tampil realistis sesuai konteks. Bahkan ada mode Vivid untuk saat-saat kreatif ketika kita butuh sedikit dorongan visual agar hasil karya terlihat lebih “niat.”

Tingkat kecerahannya mencapai 300 cd/m². Maksudnya, layarnya itu cukup terang meski dipakai bekerja di siang hari tanpa harus menutup tirai seperti vampir yang sensitif sama cahaya.

Panel IPS-nya juga memastikan tampilan tetap stabil dari berbagai sudut pandang, tanpa perubahan warna yang bikin emosi naik turun.

Bagi orang seperti saya, yang bisa menulis berjam-jam, ngedit video tanpa kenal waktu, dan menatap timeline sambil menghela napas, layar seperti ini bukan sekadar bonus, tapi emang udah jadi kebutuhan.

Warnanya udah pasti lebih tajam, teks lebih nyaman dibaca, dan grafis yang kita buat tidak akan terlihat “berbeda” saat di print.

Karena mata tidak cepat lelah dan kepala tidak cepat panas saat menatap layar. Saya yakin, produktivitas pun bakal ikut terkatrol.

Desain Elegan yang Nggak Murahan

Secara desain, ASUS V400 AiO tampil minimalis dan rapi. Ramping, modern, dan tidak banyak gaya. Bahkan bagian dalamnya pun ditata dengan baik, seolah mau bilang, “Tenang, saya udah dewasa kok.”

Ini bukan cuma soal estetika, tapi juga soal efisiensi ruang, meja kerja jadi kelihatan lebih bersih, meskipun kenyataannya kabel di belakang tetap berantakan dan tidak bisa diselamatkan oleh desain secantik apa pun.

Desain

Secara fisik, V400 Series tampil tipis dan rapi. Ketebalannya hanya 36,5 mm dengan bezel setinggi 15,6 mm. ASUS dengan bangga menyebut desain ini 25% lebih tipis dan bezel 38% lebih kecil dari generasi sebelumnya yang belum juga sempat saya miliki.

Jadi, kalau kita tarik kesimpulan dari sisi nilai ergonomi, ASUS V400 AiO terasa pas untuk berbagai ruang kerja, termasuk ruang kecil. Tinggi layar ideal, menawarkan jarak pandang yang nyaman, dan posisi kerja terasa natural.

Ini bikin kita nggak perlu repot membungkuk atau mendekat ke layar seperti, sedang curi-curi membaca pesan mantan. Semua terasa proporsional.

Bagi saya ini penting banget, karena kenyamanan fisik sering kali menentukan apakah kita bisa bekerja lama atau justru berhenti lebih cepat karena pegal dan lelah.

Spek Hardware Tingkat Dewa Bukan untuk Kaum Mendang-Mending

Urusan dapur pacu, ASUS tampaknya tidak berniat bercanda. Pasalnya, jenis prosesornya yang disematkan adalah Intel® Core™ i5 atau Intel® Core™ i7, yang dipadukan dengan memori tertinggi 64GB jenis DDR5, serta penyimpanan type SSD berkapasitas hingga 2TB.

Isitilah awamnya. Komputer ini bukan tipe komputer yang suka ngambek saat dipaksa buka banyak tab atau beberapa aplikasi sekaligus (multitasking). Apalagi kalau cuma buat ngejalanin video tutorial resolusi FHD yang katanya “cuma sebentar” tapi durasinya 60 menit. Itu mah lewaaaat!

Dari pengamatan saya, All in One PC ini benar-benar terasa unggul dari sisi workflow. Seperti kata saya tadi, ASUS V400 AiO dirancang agar kita bisa kerja, membuka banyak tab referensi, mengedit video, membuat desain grafis, dan berpindah aplikasi tanpa drama lag.

Nggak heran sih, karena hardware yang digunakan ASUS V400 AiO Series memang dirancang untuk kebutuhan produktivitas modern. Prosesor yang mumpuni, RAM memori gede (16 kali lipat dari RAM laptop saya saat ini), dan penyimpanan super cepat (SSD) membuat semua proses terasa lebih mulus. Jadi, nggak ada lagi tuh ceritanya “tunggu sebentar ya, lagi loading nih...” hahaha.

ASUS V400 AiO

Windows 11 dan Ketenangan Batin Seorang Pekerja Digital

Ada satu rahasia kecil yang selama ini saya simpan rapat-rapat, bahkan dari diri saya sendiri. Saya diam-diam merindukan Windows.

Iya, saya tahu, ini terdengar seperti pengakuan dosa bagi pengguna Linux garis keras. Tapi hidup orang dewasa memang penuh kompromi, termasuk kompromi ideologis demi kerjaan yang harus selesai sebelum istri minta uang dapur.

Linux itu idealis. Bebas, bersih, dan terasa intelektual. Tapi di dunia nyata, banyak alat kerja yang maunya cuma hidup di Windows doang.

CapCut di Linux bisa? Bisa sih, cuma versi web. Setiap kali mau edit video, saya harus upload dulu, nunggu, lalu berdoa koneksi stabil. Rasanya seperti disuruh lari estafet tapi start-nya dari paling belakang.

Meski di Linux ada Kdenlive yang disebut-sebut sebagai video editor paling balance dan user-friendly, atau Shotcut yang versatile dan support 4K, atau OpenShot yang simple tapi powerful, bagi saya pribadi CapCut masih ter-the best.

Belum lagi aplikasi desain desktop dan tools produktivitas lain yang, yang entah kenapa selalu ramah ke Windows, tapi pas ketemu Linux langsung pura-pura nggak kenal.

Di titik, ASUS V400 AiO lebih unggul daripada komputer rakitan. Dia sudah dibekali Windows original. Bukan bajakan, bukan yang versi “nanti diaktivasi belakangan,” tapi versi resmi dan sah.

Ini bukan detail kecil. Ini soal prinsip hidup orang kerja. Yang bisa bikin kita bisa update sistem tanpa rasa was-was, install software resmi tanpa rasa bersalah, dan bekerja tanpa ketakutan random error yang muncul di saat paling kita pengen kerja cepat.

CapCut bisa jalan normal. Aplikasi desain lancar. Workflow terasa rapi. Bukan sekadar “yang penting nyala,” tapi benar-benar profesional.

Jujur saja, ketenangan batin karena pakai sistem resmi itu mahal. Saya pikir ASUS V400 AiO Series bakal bisa memberi saya alasan yang masuk akal untuk berdamai dengan kenyataan.

Ya, kadang, yang kita rindukan bukan kebebasan penuh, tapi sistem yang bikin kerja cepat selesai dan kepala nggak panas.

Konektivitas di ASUS V400 AiO Itu Seperti LDR (Tidak Terlihat Tapi Ada saat Dibutuhkan)

Saya ini sudah berada di fase hidup di mana colok-mencolok kabel ke PC terasa seperti kerja rodi. USB, kabel data, dongle entah apapun namanya, semuanya bikin meja makin semrawut dan mental makin rapuh.

Maunya sih, Tinggal niat. File bisa pindah sendiri. Hahaha. Tapi ya, hidup tidak seajaib itu juga, kan? Sesekali saya tetap harus memindahkan file video berukuran gajah bunting.

Konektivitas di ASUS V400 AiO

Untungnya, ASUS V400 AiO ini konektivitasnya lengkap dan tidak sok minimalis. Ada USB 3.2 Gen 1 Type-A dan USB-C buat transfer data cepat, jadi file besar bisa pindah tanpa drama berkepanjangan.

Ada juga slot SD dan microSD. Ini fitur yang sering diremehkan, tapi sangat dicintai oleh orang-orang yang masih waras dan kerja dengan kamera atau rekaman video.

HDMI-in dan HDMI-out juga tersedia, artinya layar besar ini bisa dipakai buat nobar, nyambungin laptop lain, ponsel, bahkan konsol game.

Bergeser ke koneksi nirkabel, ASUS V400 AiO Series sudah dibekali WiFi 6E (802.11ax). Koneksi yang konon katanya lebih cepat sampai tiga kali lipat dibanding Wi-Fi 5. Itu aja? Nggak! Kapasitas jaringan lebih lega, dan latensinya lebih rendah.

Intinya... Kirim file terasa lebih sigap, meeting online lebih stabil, dan buffering itu cuma kenangan, bukan sesuatu yang harus dikeluhkan setiap menit.

Buat saya yang malas ribet tapi tetap menuntut kinerja tinggi, konektivitas ASUS V400 AiO ini terasa seperti pendukung utama kemalasan saya yang sudah akut.

Nggak Perlu Repot Ngonekin Speaker Bluetooth

Meski makin jarang dengar musik dangdut karena terpaksa harus dengerin nasyid demi kuping dan kewarasan jiwa anak, saya masih lah tipe orang yang suka musik.

Tapi, saya nggak munafik kalau suka ngerasa ilfeel pas ngedenger musik yang keluar dari speaker yang mirip kaleng biskuit bekas Lebaran.

speaker stereo

Sama halnya kalau lagi nonton dracin bertema ‘SEO yang pura-pura jadi pengemis’ itu, yang entah kenapa tetap saya tonton dengan khusyuk meski tau ending-nya.

Jadi buat saya, perangkat dengan kualitas audio yang layak itu bukan bonus. Itu syarat hidup sejahtera.

Di titik ini, ASUS V400 AiO lumayan tahu diri. Dia dibekali speaker stereo 5W x 2 yang suaranya nggak asal bunyi.

Ada desain bass-refleks canggih yang biasanya cuma nongol di sistem speaker hi-fi. Eh, tau nggak apa itu sistem speaker hi-fi? Pfff...

Jadi, dentuman bass-nya terasa bulat, bukan gebukan kaleng. Suaranya penuh, jernih, dan nggak bikin sakit telinga.

Ditambah Dolby Atmos, suara nggak cuma datang dari kiri-kanan kayak hidup yang flat tanpa konflik. Tapi, terasa menyebar, nyelimutin ruangan, bikin pengalaman nonton dan denger musik jadi lebih hidup.

Belum cukup? Ada teknologi AI noise-canceling dua arah. Jadi pas meeting online, suara tagihan dari debt collector, nyinyiran tetangga, atau omelan istri nggak bakal kedengaran.

Jadi, suara dari saya ke luar, maupun dari lawan bicara ke telinga saya akan terdengar lebih jelas tanpa gangguan.

Kamera AI ASUS

Ini juga ada hubungannya sama urusan video call. Kamera AI ASUS punya kualitas yang bisa bikin muka tetap terlihat cakep dan fokus meski kondisi jiwa sudah setengah burnout.

Kamera ini terasa makin canggih berkat Motion tracking yang bisa mengikuti wajah kita kemanapun wajah kita bergerak.

Ngidam “ASUS V400 AiO Series”

Semakin lama saya memikirkan gaya kerja saya, semakin saya yakin bahwa All in One PC adalah jenis perangkat yang saya idam-idamkan selama ini.

Saya tidak butuh mobilitas semu dari laptop. Saya butuh stabilitas, performa, dan kenyamanan.

ASUS V400 AiO Series menjawab semuanya dalam satu perangkat yang ringkas dan estetis. Bukan hanya mempercantik meja, tapi juga menyederhanakan hidup.

Bagi siapa pun yang bekerja dari rumah (WFH), dari kamar, atau dari ruang kerja sempit seperti saya, ASUS V400 AiO Series adalah definisi nyata dari The Most Aesthetic Workstation. That's right! “ASUS V400 Series, AiO PC terbaik untuk di rumah dan di tempat kerja”.

Ia bukan sekadar komputer, tapi fondasi sistem kerja yang menyatukan antara visual yang nyaman, ergonomi yang pas, workflow yang lancar, hardware yang siap (kerja keras), dan desk setup yang rapi.

Apakah ASUS V400 AiO Series Sudah Tersedia di Indonesia?

Jadi, apakah ASUS V400 AiO Series sudah tersedia di Indonesia? Sudah dong! Kalian bisa langsung beli dari situs resmi atau dari online shop favorit kalian masing-masing (Shopee dan Tokopedia).

Setelah panjang lebar riset, mikir, sok idealis, lalu pura-pura bijak, saya sampai pada satu kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan. ASUS V400 AiO Series ini adalah salah satu workstation paling seimbang di pasaran.

Desainnya rapi dan tipis, cukup untuk bikin meja kerja terlihat “niat” walau jarang dilap. Layarnya lega dengan warna yang waras, audionya nggak kaleng-kaleng (kualitas Dolby Atmos), kameranya manusiawi, konektivitasnya lengkap, dan (yang paling penting) spek-nya nggak ngotak.

Kesimpulan saya. Kalau kamu cari All-in-One PC yang worth it di semua lini, ASUS V400 AiO Series ini bukan cuma layak dipertimbangkan. Ia pas buat isi dompet, masuk akal, dan ramah bagi hidup yang sudah terlalu lelah berurusan dengan perangkat setengah-setengah.

Artikel ini diikutsertakan pada Lomba Blog “ASUS AiO V400, The Most Aesthetic Workstation!” yang diadakan oleh Travelerien.

Joni Pranata
Joni Pranata Seorang Sarjana Sistem Informasi di STMIK Amikom Jogjakarta. Content Writer, Youtuber, Animator, dan Blogger--sejak 2009

Posting Komentar untuk "Pantas Saja Jadi Incaran! Ternyata Ini Kehebatan ASUS V400 AiO yang Bikin Meja Auto-Rapi"