IndiHome Membantu Saya & Istri Bebas dari Produk Digital Bajakan
Sudah sejak lama saya memimpikan kehadiran internet provider seperti IndiHome, yang menawarkan kuota dan speed internet nan kencang yang berbiaya murah.
Mimpi tersebut, lebih tepatnya, sudah ada sejak saya duduk di bangku kuliah pada tahun 2004 silam.
Karena pada waktu itu, satu-satunya akses internet yang bisa diandalkan adalah melalui Warnet atau WiFi gratisan di kampus.
Meski saat itu, internet dengan jaringan EDGE atau GPRS sudah bisa diakses dari handphone. Namun, fasilitas tersebut masih bersifat eksklusif. Karena tidak banyak orang yang mampu membeli handphone yang dibekali dengan teknologi jaringan internet tersebut.
Skip ke tahun 2009. Ini adalah awal saya mengenal modem internet yang memungkinkan saya mengakses internet dengan kecepatan 3G dari kos menggunakan komputer atau laptop.
Kehadiran modem dan kemudahan akses internet dari rumah inilah yang kemudian memperkenalkan saya pada dunia blogging yang saya geluti hingga sekarang (2023).
Alasan Mengapa Saya Memimpikan Internet Provider Seperti IndiHome
Kecepatan internet pada saat saya kuliah dulu (2004-2009) benar-benar memprihatinkan.
Ketika itu, untuk download satu file Mp3 dengan kapasitas sekitar 3-4 Mb saja, bisa membutuhkan waktu bermenit-menit, bahkan mungkin ada yang lebih dari 5 menit.
Kecepatan internet yang rendah dan harga kuota yang masih mahal membuat saya lebih suka mendengarkan musik dan menonton film (bajakan) secara offline.
Begitu juga dengan sistem operasi untuk komputer, saya lebih suka menggunakan Windows dibandingkan dengan Linux.
Pasalnya, selain banyak tersedia di rental-rental VCD yang banyak menjamur pada saat itu, menginstal sistem operasi Windows dirasa lebih praktis dibandingkan dengan menggunakan Linux yang membutuhkan repository–yang tersedia secara online.
Speed internet yang lambat, kuota internet yang minim, dan harga internet yang mahal itulah yang membuat saya pada saat itu kesulitan untuk lepas dari produk bajakan. Seperti musik, film, sistem operasi, hingga berbagai software yang saya gunakan.
Tapi, sejak pertama kali saya menggunakan IndiHome di tahun 2013, saya langsung bisa melepaskan diri dari jerat musik, film, sistem operasi, maupun software bajakan.
Mengenal Produk Bajakan
Sistem operasi, software, aplikasi, musik, atau film bajakan adalah produk berbayar yang dipakai atau dinikmati secara gratis melalui cara ilegal.
Contohnya, software Microsoft Word yang seharusnya tersedia dalam versi trial (ujicoba) 30 atau 60 hari, kemudian diubah menjadi full version agar dapat digunakan selamanya menggunakan software Crack atau serial number palsu yg di generate dari software Keygen dan sejenisnya.
Sedangkan musik atau lagu dan film bajakan adalah file yang di convert atau didengarkan/ditonton atau disimpan atau didistribusikan atau diperjualbelikan tanpa seizin pemilik copyright.
Bagaimana IndiHome Membantu Saya Meninggalkan Produk Bajakan
Sejak pertama kali saya memiliki komputer sekitar tahun 2006, saya sudah langsung menggunakan produk bajakan. Mulai dari musik, film, software, hingga sistem operasi.
Saya semakin sulit terlepas dari produk bajakan, terutama dari sistem operasi seperti Windows dan berbagai software-nya. Mengingat, sebagian besar keahlian saya bergantung pada software-software seperti Adobe Photoshop, Adobe Flash, Illustrator, After Effect, MS Office, 3Ds Max, dll.
Ketergantungan pada produk bajakan tersebut berlangsung sampai awal-awal pernikahan saya di tahun 2014.
Setelah menikah, saya dan istri sepakat untuk hidup mandiri. Salah satu langkah yang kami ambil untuk hidup mandiri pada saat itu adalah berpisah dari orang tua dan mengontrak rumah.
Ketika tinggal di rumah kontrakan (pada awal 2015), kami mulai mencoba menghasilkan uang tambahan dengan menjadi content writer (menjual tulisan/artikel).
Disamping itu, saya dan istri juga mencoba membangun kembali blog-blog yang sempat kami tinggalkan dulu.
Pilihan menjadi content writer dan blogger untuk menghasilkan uang tambahan kami ambil karena, saya maupun istri memang sudah sejak lama menggeluti dunia blog.
Dunia blog inilah pula lah yang mempertemukan kami hingga akhirnya menikah di kemudian hari.
Tak dinyana, meski baru mulai, peminat artikel yang kami tawarkan cukup banyak. Terlebih, setelah kami membangun website khusus untuk jualan artikel yang beralamat https://jualbeliartikel.com.
Orderan yang terus bertambah membuat saya dan istri sepakat untuk fokus menjadi blogger dan content writer. Setelah rata-rata penghasilan kami dari kegiatan menulis dan ngeblog cukup untuk makan sehari-hari, saya pun memutuskan untuk resign dari kerjaan.
Untuk memudahkan kami ngeblog dan membuat konten, kami pun memutuskan untuk memasang internet dari Telkom Indonesia yang saat itu baru memakai nama IndiHome (untuk menggantikan layanan dengan nama Speedy).
Pertimbangan lain yang membuat kami berani mengambil keputusan tersebut adalah karena rumah yang kami kontrak kebetulan sudah terjangkau oleh jaringan kabel telepon Telkom Indonesia.
Pada waktu itu, kami hanya mampu berlangganan paket internet dengan speed 2 Mbps.
Tapi meski kecepatan internet yang ditawarkan tidak sekencang internet IndiHome saat ini (minimal 20 Mbps), namun kami sudah merasa sangat terbantu.
Apalagi, selain biaya langganannya juga murah, koneksinya jauh lebih stabil dan lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan modem GSM. Meskipun, saat itu Telkom masih menggunakan jaringan telepon (ADSL) untuk menyediakan layanan internet yang kami akses.
Sejak memasang layanan WiFi rumah dari Telkom Indonesia pada tahun 2015 silam, keinginan saya untuk lepas dari produk bajakan semakin kuat.
Dengan adanya jaringan internet yang lebih kencang dan lebih stabil, saya mulai mendownload (file ISO) untuk mencoba berbagai Distro Linux yang pernah saya pelajari ketika dulu kuliah di STMIK Amikom Yogyakarta. Mulai dari, Ubuntu, Fedora, PCLinuxOS, hingga Linux Mint.
Setelah mencoba beberapa Distro Linux, pilihan saya jatuh pada Ubuntu.
Hal yang Membuat Saya Getol Beralih dari Windows ke Linux
Setelah menikah, saya mulai memikirkan ulang tujuan hidup saya. Dan, saya mulai mengintrospeksi diri dengan lebih serius.
Dari sekian banyak hal yang ingin saya ubah, salah satunya adalah software untuk bekerja yang saya gunakan untuk menafkahi istri dan anak keturunan saya nantinya.
Latar belakang pendidikan pesantren (Tebuireng Jombang Jawa Timur dan Ulil Albaab NW Lombok Timur, sedikit banyak mempengaruhi keputusan yang saya ambil saat itu.
Pasalnya, dari sekian banyak hal yang kami pelajari selama di pesantren, mencari rezeki yang halal dan baik, seperti yang termaktub di dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 168 dan Quran An-Nisa' Ayat 29 adalah salah satu pelajaran yang sangat berkesan dan selalu terngiang-ngiang di benak saya.
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 168)
Dan, seperti yang kita tahu, menggunakan lagu, film, software, hingga sistem operasi bajakan adalah perbuatan ilegal. Karena, perbuatan tersebut jika diqiyaskan, sama dengan menggunakan produk orang lain tanpa izin pemilik copyright.
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu… (QS An-Nisa' : 29).
Keinginan yang kuat untuk memberikan nafkah yang halal dan baik inilah yang mendasari saya untuk berhenti menggunakan produk-produk bajakan, khususnya sistem operasi Windows dan berbagai macam software yang telah saya sebutkan.
Pasalnya, Windows dan berbagai software tersebut lah yang waktu itu saya andalkan untuk bekerja dan menghasilkan uang.
Meski harus memulai lagi dari nol. Namun keinginan yang kuat untuk menghasilkan uang halal dengan menggunakan produk-produk legal seperti OS Ubuntu (Linux) dan berbagai software gratisan semisal WPS Office atau LibreOffice (alternatif MS Word) membuat saya tak patah semangat.
Peralihan yang drastis ini tentu saja membuat ekonomi keluarga kami menjadi terpuruk. Tapi, alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, seiring waktu, apa yang kami usahakan mulai memperlihatkan hasil. Dan, yang terpenting, pikiran kami terasa lebih tenang dan hati kami pun lebih damai setelah menggunakan produk-produk yang legal untuk bekerja dan mengais rezeki.
Istri Saya yang Dulu Pengguna Windows
Meski ia adalah seorang blogger, istri saya (pemilik blog: jombloku.com) tergolong awam dalam dunia komputer.
Ketika saya mengutarakan keinginan untuk melepaskan diri dari berbagai produk bajakan, khususnya Windows dan software-software-nya, istri saya sempat menolak.
Meski enggan beralih karena sudah terbiasa menggunakan OS Windows, namun saya terus berusaha meyakinkannya untuk mencoba Linux. Saat itu, yang saya tawarkan adalah Distro Linux Mint.
Kini, ia sudah 100% Linux user dan sudah tak pernah lagi berkeinginan untuk menginstall dan menggunakan Windows (bajakan) di laptopnya.
Tak hanya itu, laptop kami sejak berlangganan IndiHome sudah tidak pernah lagi kami gunakan untuk menyimpan mp3, film, atau software bajakan.
Kiat Saya Mengajak Istri Bermigrasi dari Windows ke Linux
Tak saya pungkiri kalau saya sangat bersyukur karena dianugerahi istri yang mau mendukung keputusan saya (dalam hal kebaikan), seperti bermigrasi dari produk bajakan ke produk yang legal.
Istri saya (https://jombloku.com) hanyalah seorang lulusan Madrasah Tsanawiyah. Latar belakang ekonomi keluarga membuatnya terpaksa mengubur impian untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Meski demikian, ia punya semangat belajar yang tinggi dan tidak berkecil hati meski hanya lulusan setara SLTP. Semangat belajarnya yang tinggi ini adalah salah satu alasan mengapa saya tertarik untuk meminangnya dulu.
Pada awal saya memintanya beralih ke OS Linux, ia sempat merasa enggan karena khawatir akan membutuhkan waktu yang lama untuk menguasainya. Mengingat, situasi keuangan keluarga kami saat itu belum stabil.
Namun, OS Linux yang sudah semakin sempurna dan mudah digunakan serta minat belajar istri saya yang tinggi, membuat saya tidak berkecil hati.
Untuk mengurangi kekhawatirannya. Saat itu saya menawarkannya untuk menginstall Linux tanpa menghapus OS Windows yang ada di laptopnya.
“Dek, coba dulu aja ya. Saya instalin Linux tapi Windows-nya nggak aku hapus. Jadi, nanti kalo susah, kamu masih bisa balik lagi pake Windows.” Ucap saya merayu.
“Iya deh, coba aja. Tapi, nanti kalo sulit aku pake Windows lagi lho ya.” Jawab istri, saat saya memintanya mencoba Linux untuk pertama kalinya.
Setelah saya menginstal Linux Mint di laptopnya, dan setelah ia mencoba sendiri. Istri saya langsung merasakan kesan yang positif.
“Ternyata nggak sesulit yang aku bayangin mas.” Seloroh istri saya saat pertama kali mencoba menggunakan Linux Mint.
“Mirip sama Windows kok. Trus, rasanya lebih ringan dan lebih cepat daripada pake Windows.” Tambahnya.
“Iya, Linux Mint ini tampilan sama cara pakenya memang mirip sama Windows. Makanya aku instalain ini buat kamu.” Ucap saya menerangkan alasan mengapa saya memilih Linux Mint untuk di-install di laptopnya.
“Ini Word-nya juga mirip kok sama Word yang di Windows.” Komentarnya saat mencoba software WPS Office yang menjadi alternatif MS Word di Linux.
“Nanti, kalo kamu bingung nyari tools yang kamu butuhin, tanya aja.” Tambah saya untuk meyakinkannya.
Nyatanya, apa yang saya khawatirkan, tidak terjadi. Proses migrasi istri saya dari Windows ke Linux saya anggap cukup lancar.
Tidak banyak hal yang ia keluhkan selama mencoba menggunakan Linux Mint. Dugaan saya, itu karena tampilan Linux Mint yang memang sangat mirip dengan Windows.
Disamping tampilannya yang mirip Windows, software-software yang dibutuhkannya untuk bekerja (menulis artikel dan ngeblog) juga relatif sederhana dan mudah dikuasai meski terdapat sejumlah perbedaan dengan software-software Windows yang pernah ia gunakan. Terutama, yang berkaitan dengan perbedaan penempatan tools dan menu.
Tak sampai 1 bulan, istri saya sudah terbiasa menggunakan Linux. Bahkan, meski saya berulang kali gonta-ganti Distro Linux, dari Ubuntu, Elementary OS, Pop OS, hingga Deepin, ia tetap bisa dengan mudah mengoperasikan komputer saya (saat sekali ia meminjam komputer saya).
Dari pengalaman saya mengajak istri untuk bermigrasi dari Windows ke Linux inilah yang kemudian menginspirasi saya untuk mengkampanyekan anti bajakan melalui OS Linux.
Terutama, kepada teman-teman yang belum mampu membeli Windows asli (genuine) dan tidak terlalu bergantung pada software-software yang sulit ditemukan alternatifnya (yang setara) di Linux.
Untuk memudahkan siapapun yang ingin mencoba OS Linux, saya sudah menulis artikel tentang cara install Linux, khususnya Distro Ubuntu, Elementary OS, dan Linux Mint--seperti yang digunakan oleh istri saya.
Begitu juga dengan daftar alternatif software yang tersedia di Linux dan cara meng-install-nya.
Tips Saya Memudahkan Istri Meninggalkan Produk Bajakan
Lepas dari ketergantungan menggunakan produk bajakan memang tidak mudah. Saya sendiri sudah pernah mengalaminya, dan begitu juga istri saya.
Namun setelah saya mencoba sendiri, saya merasa ada banyak pengalaman dan pelajaran yang bisa saya ambil dari usaha saya pribadi untuk lepas dari produk bajakan.
Berikut adalah beberapa tips yang saya terapkan untuk memuluskan proses melepaskan istri saya dari ketergantungan pada produk-produk bajakan.
- Langkah pertama yang saya ambil adalah diskusi seputar hukum menggunakan produk-produk bajakan, baik dilihat dari kacamata agama maupun kacamata hukum di Indonesia
- Saya paparkan apa saja kelebihan Linux, semisal:
- Lebih aman dan tidak mudah kena virus, trojan, atau malware seperti Windows
- Ringan dan mendukung komputer lawas dengan spek rendah
- Mudah digunakan
- Install softwarenya kini sudah jauh lebih mudah karena ada Software Center yang mirip Play Store di Android
- Mudah di-kustomisasi
- Banyak pilihan distro yang bisa disesuaikan dengan selera atau kebutuhan spek laptop
- OS-nya gratis, begitu juga dengan softwarenya (sebagian besar) gratis
- Saya tidak memaksanya untuk menggunakan Linux. Sebaliknya, saya tetap memberikan kelonggaran dengan tidak menghapus Windows dan berbagai software yang selama ini digunakannya untuk bekerja. Setelah sepenuhnya menguasai Linux, barulah saya menghapus Windows dan hanya menginstall Linux di laptopnya
- Saya berusaha untuk mencari distro Linux dan software yang secara tampilan sangat mirip dengan Windows maupun software-software yang ia gunakan di Windows. Contohnya, saya lebih merekomendasikan software WPS Office untuk mengetik artikel dibandingkan dengan LibreOffice
- Untuk terlepas dari musik dan film-film bajakan, saya menawarkan alternatif streaming dari situs-situs resmi seperti:
- Spotify dan JOOX untuk mendengarkan musik
- Langganan paket 3P IndiHome yang menyediakan UseeTV, atau langganan Viu, iFlix, serta Netflix untuk menonton film
- Untuk berbagai software alternatif yang tidak mudah dikuasai seperti Gimp (alternatif Photoshop), saya menawarkan Canva dari Android
Untuk mendukung tips di atas, saya sangat terbantu oleh keberadaan internet cepat dan murah yang ditawarkan Telkom Indonesia melalui layanan IndiHome.
Kenapa Harus IndiHome?
Seperti yang saya ceritakan di awal-awal tadi, saya sendiri sudah lama mempercayakan IndiHome sebagai layanan internet keluarga saya di rumah.
Ada beberapa alasan, yang membuat saya sejak tahun 2015 hingga sekarang, tetap mengandalkan provider internet ini. Misalnya,
- Jaringannya luas. Saya sudah beberapa kali pindah rumah (kontrakan) dari satu daerah ke daerah lain. Dan, di setiap daerah yang saya datangi, jaringan IndiHome pasti mudah ditemukan
- Pengalaman saya selama bertahun-tahun menggunakan layanan IndiHome telah meyakinkan saya bahwa provider internet dari Telkom Indonesia ini adalah salah satu yang terbaik di Indonesia
- Biaya langganannya terjangkau. Misal, untuk paket internet 1P dengan kecepatan 30 Mbps dan kuota minimal 700 GB, biaya langganannya cuma 200 ribuan
- Menggunakan kabel 100% fiber. Diantara kelebihan kabel fiber untuk internet adalah:
- Kecepatan yang tinggi
- Lebih stabil dan andal
- Jangkauan jauh
- Kapasitas yang lebih besar
- Keamanan yang lebih baik
- Tahan terhadap interferensi elektromagnetik
- Tidak rentan terhadap gangguan cuaca
- Lebih ramah lingkungan
- Banyak pilihan paket yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan atau kemampuan finansial. Contohnya:
- Paket 1P khusus untuk internetan saja dengan kecepatan 30 Mbps (Rp280.000/bulan), 40 Mbps, hingga 50 Mbps
- Paket 2P (internet + telepon rumah) dengan pilihan paket 30 Mbps (Rp300.000/bulan), 40 Mbps, dan 50 Mbps
- Paket 2P (internet + TV) dengan pilihan paket 30 Mbps (Rp340.000/bulan), 40 Mbps, dan 50 Mbps
- Paket 3P (Internet + TV + Telepon) dengan pilihan paket 30 Mbps (Rp360.000/bulan untuk Paket JITU 1 - 3P), 40 Mbps, dan 50 Mbps
- Paket New IndiHome Netflix 2P HSI Streaming dengan kecepatan 100 Mbps dengan biaya langganan Rp555.000/bulan
- New IndiHome Netflix 3P HSI Streaming dengan kecepatan 100 Mbps biaya berlangganan Rp590.000/bulan
Berkat biaya langganan yang murah dan kecepatan internet yang tinggi serta kuota yang berlimpah, install OS Linux di laptop maupun mendengarkan musik dan menonton film secara streaming jadi lebih mudah dan menyenangkan.
Itulah sebabnya, secara pribadi saya sangat merekomendasikan siapapun untuk memasang WiFi IndiHome di rumahnya.
Mengkampanyekan Anti Bajakan
Di awal-awal saya membangun website ini, saya tidak secara khusus mengkampanyekan anti-bajakan untuk sistem operasi dan software atau aplikasi.
Meski demikian, pada akhirnya saya tetap berusaha untuk mengkampanyekan anti-bajakan melalui website ini.
Karena saya lihat, masih banyak masyarakat Indonesia yang enggan meninggalkan produk bajakan seperti sistem operasi (OS) ataupun software, musik, hingga film. Entah itu, karena enggan mengeluarkan uang untuk langganan atau karena menganggap OS seperti Linux itu sulit dipelajari.
Stereotip tentang Linux yang lebih sulit digunakan dibandingkan dengan OS Windows, sebenarnya sudah sering saya dengar sejak duduk di bangku kuliah dulu.
Entah mengapa, stereotip tersebut kemudian kerap dijadikan sebagai alasan untuk tidak mencoba Linux.
Padahal, Linux yang dulu dikenal sulit kini sudah semakin user friendly (mudah digunakan).
Bahkan, tidak banyak diantara kita yang menyadari bahwa, sistem operasi Android yang ada di smartphone yang sehari-hari kita pakai, sebenarnya adalah sistem operasi berbasis Linux (open source dan berlisensi APACHE 2.0).
Nyatanya, tanpa kita sadari, banyak diantara kita yang ahli dalam mengoperasikan Android meski tidak secara khusus mempelajarinya.
Berangkat dari pemikiran tersebut, saya beranggapan bahwa, siapapun pasti bisa mempelajari dan menggunakan sistem operasi Linux asalkan ia memiliki kemauan dan usaha.
Jika istri saya yang hanya lulusan MTS saja bisa dengan mudah bermigrasi dari Windows (bajakan) ke Linux dan berbagai alternatif softwarenya, saya yakin, Anda yang lulus dari jenjang pendidikan yang lebih tinggi pasti lebih mampu.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Android_(sistem_operasi)#:~:text=Android%20(%2F%CB%88%C3%A6n.,telepon%20pintar%20dan%20komputer%20tablet.
- https://indihome.co.id/
- https://www.tokopedia.com/s/quran/al-baqarah
- https://suaramuhammadiyah.id/2016/02/01/perintah-makan-makanan-yang-halal-dan-baik-surat-al-baqarah-ayat-168-171/
Posting Komentar untuk "IndiHome Membantu Saya & Istri Bebas dari Produk Digital Bajakan"